Kamis, 26 Januari 2012

Sastra Daerah dalam Konteks Kebudayaan Daerah dan Nasional


Sebagai sebuah produk budaya, eksisitensi sastra daerah tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Dalam konteks kebudayaan daerah, sastra daerah dijadikan sebagai wahana ekspresi budaya daerah (Zaidan, 2000:123). Dengan demikian, substansi sastra daerah tidak lain merupakan corak kebudayaan suatu daerah tertentu.
Seperti halnya sastra pada umumnya, sastra daerah diciptakan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Hanya saja, sastra daerah diciptakan oleh masyarakat di suatu daerah dengan menggunakan bahasa daerahnya sendiri. Penggunaan bahasa daerah inilah yang menjadi salah satu indikator sastra daerah. Bahasa daerah yang digunakan umumnya masih menggunakan bahasa daerah asli. Oleh karena itu, ketika ingin memahami arti atau makna bahasa dalam sastra daerah, terkadang kita diperhadapkan dengan kosakata-kosakata yang sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk dapat memahami arti atau makna kata-kata dalam sastra daerah, kita membutuhkan kamus bahasa daerah dan informasi dari orang-orang tua yang memahami benar seluk-beluk bahasa daerah tertentu.
Dilihat dari aspek substansi maupun mediumnya, jelaslah jika produk sastra daerah merupakan bagian dari khazanah kebudayaan daerah. Untuk itu, sastra daerah perlu dilestarikan dan dipertahankan agar tidak punah. Hal ini penting karena jika produk sastra di suatu daerah tempat dia tumbuh telah punah, maka hakikatnya kebudayaan daerah itu sendiri telah ikut punah. Jika produk sastra di sutau daerah telah punah, maka daerah tersebut telah kehilangan corak kebudayaan daerahnya sendiri. Demikian pula jika produk sastra di suatu daerah telah punah, maka hakikatnya daerah tersebut telah kehilangan rekaman penggunaan bahasa daerah yang telah diwariskan oleh para pendahulunya.
Jika sastra daerah punah, hakikatnya kebudayaan suatu daerah pun ikut punah, yang pada gilirannya berimplikasi pada eksistensi kebudayaan nasional. Keragaman produk sastra yang ada di hampir setiap daerah di Indonesia mampu merperkokoh citra kebinekaan bangsa Indonesia. Bahkan, oleh Anom (2000:22) dinyatakan bahwa lewat sastra (daerah) orang dapat mengenali watak bangsa Indonesia yang bhineka itu. Jadi, implikasi lebih luas adalah jika sastra daerah punah, maka hakikatnya khasanah kebudayaan daerah dan nasional pun ikut punah. Demikian pula sebaliknya, jika produk sastra di suatu daerah tetap terjaga dan terpelihara, hakikatnya khasanah kebudayaan daerah dan nasional pun terus hidup dan terjaga. Oleh sebab itu, produk sastra di setiap daerah di Indonesia perlu terus dipertahankan untuk memperkaya khasanah kebudayaan nasional (Soedirdja, 2000:9), karena hakikatnya sastra suatu bangsa merupakan pencerminan kebudayaan bangsa itu (Darma, 2005:xvii).

Rabu, 25 Januari 2012

Karakteristik Bahasa Sastra


Sebagai salah satu jenis karya seni, sastra tentunya tidak lepas dari aspek estetika atau aspek keindahan. Namun, perwujudan keindahan dalam karya sastra berbeda dengan karya seni lainnya. Jika aspek keindahan dalam karya seni lain dapat diamati secara langsung melalui bentuknya, sastra tidak demikian. Sastra mampu memancarkan keindahan dalam dirinya tidak hanya dari bentuk, namun yang lebih utama lagi adalah dari bahasa yang digunakan di dalamnya. Bahasa sastra adalah bahasa yang istimewa (Simpson, 2004:98). Keistimewaan bahasa dalam sastra tersebut tampak pada pengolahan kata dan kalimat yang kesemuanya mampu menciptakan nuansa keindahan di dalamnya. Jadi, karakteristik bahasa sastra yang pertama adalah penggunaan bahasa yang estetis atau indah.
Kedua, bahasa sastra merupakan plastik untuk membungkus amanat dalam sebuah cipta sastra. Bahasa dalam karya sastra dijadikan sebagai media untuk menyampaikan amanat berupa ajaran dan berbagai pesan moral kepada pembacanya. Berbagai pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra dibungkus dengan bahasa yang indah, sehingga pembaca bisa mendapatkan dua hal utama dalam sastra yaitu kenikmatan dari bahasa sastra dan manfaat di balik bahasa tersebut.
Ketiga, bahasa sastra dinamis. Hakikatnya, bahasa dalam karya sastra tidaklah berbeda dengan bahasa-bahasa yang digunakan pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada pemanfaatan bahasa itu sendiri. Jika karya-karya nonsastra terkesan kaku dengan aturan-aturan baku tata bahasa formal, maka sastra tidak demikian. Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara leluasan, karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis (Tynjanov dalam Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1977:22). Tidak ada tata bahasa formal yang mengatur pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Setiap pengarang sastra dapat memanfaatkan bahasa secara leluasa sesuai dengan caranya sendiri dalam menyampaikan pikiran, perasaan, gagasannya. Keleluasaan setiap pengarang dalam memanfaatkan bahasa dalam karya sastra dikenal dengan istilah licentia poetica.
Keempat, bahasa sastra bersifat simbolis dan konotatif. Sastra berisi realitas kehidupan manusia. Realitas kehidupan tersebut ada yang dikemukakan oleh pengarang sastra secara lugas dengan menggunakan bahasa-bahasa yang denotatif, namun ada juga yang diungkapkan secara simbolik dengan menggunakan bahasa-bahasa yang konotatif. Bahkan, penggunaan simbol dan bahasa yang konotatif menjadi salah satu ciri bahasa sastra. Dengan bahasa yang simbolis dan konotatif, pengarang sastra dapat mewakilkan kesan pribadinya terhadap sesuatu. Dengan begitu, walaupun pengarang merasa  simpati, takut, atau bahkan benci kepada sesuatu atau seseorang, dia tidak harus menyatakannya secara langsung, namun melalui simbol-simbol bahasa.

Tanya untuk si Besar


Cobalah tengok! Tengok!
Orang-orang pinggiran.
Beradu maut menyeberangi kehidupan
tanpa daya, tanpa takut
bergelut dengan maut.
Hanya untuk mengiisi perut kosong
demi sesuap nasi, dan
seteguk air kehidupan.

Cobalah lihat! Lihat!
Si miskin minta tolong….
Menjajakan sedikit tenaga
bermodal semangat juang
walau hanya dengan kaki sebelah,
walau hanya dengan tubuh yang renta.

Kasihan! Kasihan!
Di balik tangis air mata dan keringat mereka,
masih ada tawa terbahak di atas sana.
Pernahkah mereka berpikir:
Jika aku menjadi….

Sampaikah hatimu?
Melihat kakek-nenek melangkah gontai
hanya untuk menyanyikan keroncong perutnya?
Mendengar tangis anak-anak yang tak berdaya,
tinggalkan sekolah hanya untuk mencari
seonggok nasi?

Sungguh kalian tak berbudi.
Pancasila kau pinggirkan.
Keimanan kau tanggalkan.
Hanya untuk memecahkan perut buncit
yang diisi dari tangan-tangan suci,
dan air mata kepolosan.

Andai kau sadar,
makananmu adalah daging mereka,
minumanmu adalah darah mereka,
duitmu adalah keringat mereka.

Mengapa orang tua bisa berpaling
dari  anak-anaknya?
Mengapa kakak bisa lupa akan adiknya?
Mengapa pula kacang lupa dengan kulitnya?

Tidakkah mereka berpikir,
mawar yang mereka pegang itu
dipetik oleh rakyat kecil.
Musik yang mereka dengar itu
dimainkan oleh kaum melarat.
Kuda yang mereka tunggangi itu
hanyalah pemberian kaum tertindas.

Kapan kita akan seia-sekata.
Si melarat didampingi sang konglomerat.
Si kecil dinaungi si besar.
Kaum tertindas dilindungi para dermawan.